Kamis, 24 April 2014

Mari Mengenal Suriname [chapter 1]

Sejarah islam di Suriname

Sekilas Suriname

Cahaya Islam itu juga bersinar terang di Amerika Selatan, tepatnya di Negara Republik Suriname, negara bekas jajahan Belanda yang merdeka pada 25 Nopember 1975. Suriname berpenduduk hanya 492.829 jiwa (sensus penduduk tahun 2004) dan mendiami lahan subur seluas 163.820 km2. Negara yang menjadi penghasil bouksit (bahan alumunium) terbesar di dunia itu dihuni oleh penduduk dengan multi ras dan kultur. Ras terbesar adalah suku Hindustan, 135,177 jiwa (27,4 % jumlah penduduk), disusul kemudian suku Creool, 87,202 jiwa (17,7 %), Marron, 72,553 jiwa (penduduk asli, 14,7 %), Jawa, 71,879 jiwa (14,6 %), dan suku-suku kecil lain seperti Inheems, 18,037 jiwa (3,7 %), Gemends, Kaukasish, China, dan lain-lain.

Negara Suriname berbatasan dengan Brazilia sebelah selatan, Guyana Perancis (timur), Guyana Inggris (barat), dan samudera Atlantik (utara). Negara itu dibagi ke dalam 8 distrik utama (semacam propinsi), yaitu: Paramaribo (ibu kota negara), Para, Coronie, Commewijne (konsentrasi utama masyarakat Jawa), Brokopondo, Samaracca, Marowijne (penghasil tambang utama, bauksit), dan Nickerie (pusat persawahan dan lumbung padi). Seperti Indonesia, Suriname memiliki iklim Tropis dengan musim hujan lebih panjang dari musim panas. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan Nopember hingga Juli, sedangkan musim panas terjadi pada bulan Juli hingga Nopember setiap tahun. Itulah, maka tanah Suriname sangat subur, hutan yang hijau dan berbagai tanaman tumbuh subur di sana. Berbagai tanaman yang tumbuh di Indonesia, tumbuh pula di sana.

Dalam sejarah panjangnya, wilayah ini ditemukan oleh seorang Spanyol, Kapten Alonso De Ujida, asisten pelayar terkenal Amrico Pespucci pada tahun 1499. Dia sampai di pantai timur laut Amerika Latin dan menemukan kelompok-kelompok suku Marron (Indian) menyebut wilayah itu dengan nama Guyana. Pada tahun 1593, pemerintah Spanyol menjajah wilayah tersebut sampai dengan kedatangan seorang Inggris F.L. Wiilaughby pada tahun 1651 untuk kemudian menjajahnya atas nama pemerintah Inggris. Pada tahun 1667 Belanda berhasil merebut wilayah itu dari tangan Inggris setelah sebelumnya terjadi pertempuran sengit. Kemudian pada tahun 1816, wilayah Guyana itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Guyana Perancis (dibawah jajahan Perancis), Guyana Inggris (dibawah jajahan Inggris), dan Suriname (dibawah jajahan Belanda).

Belanda menjajah Suriname selama lebih kurang tiga setengah abad. Pada tahun 1950, Suriname diberikan hak otonomi, tahun 1954 menjadi negara bagian Belanda, dan pada 25 Nopember 1975 diberikan hak kemerdekaan.

Pada masa penjajahan Belanda, dimulai sejak abad 17, Suriname menjadi sumber penghasil devisa terbesar bagi negeri Kincir Angin itu, di samping dari Indonesia dan negara jajahannya yang lain. Maka di Suriname dibangun proyek perkebunan (plantation) secara besar-besaran. Dibangun di sana proyek perkebunan (plantation) tebu, kopi, kapas, jeruk, pisang, padi, kelapa, dan lain-lain. Untuk menggarap proyek besar itu, Belanda merekrut tenaga kontrak secara besar-besaran dari Afrika, India, dan Jawa (Indonesia). Mereka dipekerjakan secara paksa di perkebunan-perkebun an tersebut hingga akhirnya mereka menetap turun-temurun di sana karena tidak mungkin pulang kembali ke negeri asalnya. Bahkan untuk kasus orang-orang dari Afrika (Negro), mereka tidak saja menjadi tenaga kontrak, melainkan jauh sebelum itu diperlakukan sebagai budak (slavers) dari para kaum penjajah. Kaum Negro itu sampai mendapat julukan penghinaan sebagai kaum Jewcach (kotoran orang Yahudi), karena mereka diperbudak oleh kaum Yahudi (Barat) yang salah satu kerjaan mereka adalah membersihkan kotoran kaum Yahudi. Kaum Negro itu akhirnya terbagi menjadi dua, 1) suku Creool, yang masih setia di kota sebagai budak dengan tetap mengabdi kepada majikannya, dan 2) mereka yang melarikan diri ke hutan karena tidak sudi menjadi budak orang Yahudi, mereka itu kemudian dikenal dengan suku Bush Negro.

Kini mereka adalah keturunan ke tiga atau ke empat dari nenek moyang mereka yang dijadikan tenaga kontrak atau budak Belanda itu. Kini mereka tidak lagi menjadi tenaga kontrak atau budak seperti embah-embahnya dulu karena negara sudah merdeka. Mereka telah menghirup udara bebas di alam kemerdekaan. Secara ekonomi, kehidupan mereka relatif mapan. Jumlah penduduk sedikit dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, nyaris tidak ditemukan fakir miskin. Tidak ada pengangguran asal mau kerja, kecuali mereka yang bermalas-malas. Disiplin kerja begitu tinggi dan setiap orang dihargai berdasarkan prestasinya. Tidak dikenal uang pelicin untuk melancarkan urusan di berbagai instansi. Urusan segera dikerjakan sepanjang waktu memungkinkan. Penghargaan terhadap waktu begitu tinggi. Apabila Anda terlambat beberapa menit saja, maka urusan Anda tidak dapat diproses. The time is money, kata mereka. Maka menunggu Anda diluar waktu adalah kerugian bagi mereka.

Latar belakang suku asal mereka masih sangat diperhitungkan dalam percaturan politik negara tersebut. Hal itu terlihat dalam kelompok-kelompok organisasi masyarakat dan politik yang masih sangat kental akan warna suku dan ras. Ada partai dari suku Hindustan, Creool, Jawa dan lain-lain. Dominasi suku-suku tersebut tidak jarang kemudian menimbulkan benturan-benturan antar suku-suku seperti yang terjadi pada tahun 1980, dimana tentara mengambil alih pemerintahan karena terjadi kekacauan antara suku. Meskipun demikian, kudeta itu tidak memperbaiki keadaan.

Bahasa resmi Suriname adalah bahasa Belanda. Di samping itu ada bahasa Suranan Tango (Taki-Taki, take-take), yaitu bahasa campur-campur, serapan dari berbagai bahasa di Afrika, Inggris, Belanda, Perancis dan lain-lain, hingga menjadi bahasa umum di masyarakat. Selain itu ada bahasa Hindustan Suriname yang dipakai oleh kalangan keturunan India, dan bahasa Jawa yang dipakai oleh kalangan masyarakat dari suku-suku di Indonesia, terutama Jawa.

Kentalnya latar belakang suku, mendatangkan problematika tersendiri bagi Suriname. Mereka dulu datang dari berbagai negara (Afrika, India, Jawa, Cina) tidak karena kemauannya sendiri melainkan dipaksa datang sebagai budak atau tenaga kontrak dengan latar belakang kultur yang berbeda. Kondisi tersebut masih sangat dominan pada masa kemerdekaan kini, dimana mereka sulit disatukan atas nama kebangsaan. Mereka sangat berpegang teguh pada sukuisme dan primordialisme.

Rendahnya sumber daya manusia (SDM) menjadi masalah besar. Mereka yang tadinya sebagai budak dan tenaga kontrak, setelah ditinggal Belanda harus mengurus negaranya sendiri. Yang terjadi adalah ketidakmampuan menggarap lahan luas yang dulu dijadikan perkebunan penghasil devisa utama. Tanah-tanah itu diserahkan pada elit-elit penguasa dan tuan tanah yang penangannya dilakukan sendiri-sendiri dengan hasil tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat banyak. Di samping itu, kemerdekaan negara yang tidak dihasilkan melalui proses perjuangan mengusir penjajah, melainkan berkat hadiah yang diberikan sang penjajah, menyebabkan tidak semua puas dengan suasana kemerdekaan seperti sekarang. Bahkan sebagian berontak ingin melepaskan diri (seperti yang pernah terjadi pada distrik Morowijne) atau merasa bahwa pada masa penjajahan Belanda lebih sejahtera dibandingkan masa sekarang.

SUMBER : http://marimengenalsuriname.blogspot.com/

RezaMaulana 1401123200
@R16Maulana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar